1. Awal Perubahan UUD 1945
Tuntutan reformasi yang menghendaki agar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diubah, sebenarnya telah diawali dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1998. Pada forum permusyawaratan MPR yang pertama kalinya diselenggarakan pada era reformasi tersebut, MPR telah menerbitkan tiga ketetapan MPR. Ketetapan itu memang tidak secara langsung mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi telah menyentuh muatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .
Pertama, Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/ 1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum. Ketetapan MPR tentang referendum itu menetapkan bahwa sebelum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus dilakukan referendum nasional untuk itu, yang disertai dengan persyaratan yang demikian sulit.
Kedua, Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/ 1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Ketentuan Pasal 1 Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Ketentuan MPR yang membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden tersebut, secara substansial sesungguhnya telah mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni mengubah ketentuan Pasal 7 yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”
Ketiga, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/ 1998 tentang Hak Asasi Manusia. Terbitnya Ketetapan MPR itu juga dapat dilihat sebagai penyempurnaan ketentuan mengenai hak asasi manusia yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, seperti Pasal 27; Pasal 28; Pasal 29 ayat (2).
Terbitnya Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/ 1998, Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998, dan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 dapat dikatakan sebagai langkah awal bangsa Indonesia dalam melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Setelah terbitnya tiga ketetapan MPR tersebut, kehendak dan kesepakatan untuk melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 makin mengkristal di kalangan masyarakat, pemerintah, dan kekuatan sosial politik, termasuk partai politik.
Pasca penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR tahun 1998 fraksi-fraksi MPR makin intensif membahas perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Fraksi-fraksi MPR memiliki kesamaan aspirasi dan sikap politik di dalam melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni mengutamakan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan partai politik dan kelompok atau golongan.
Suasana pada waktu itu sungguh-sungguh diliputi oleh kehendak dan tuntutan bersama berbagai komponen bangsa untuk melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berbagai komponen bangsa yang berasal dari aspirasi dan paham politik, ras, agama, suku, dan golongan yang beragam itu bersatu padu untuk secara bersama-sama dan konstitusional melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai kehendak kolektif bangsa agar dapat mewujudkan masa depan yang lebih baik.
Suasana yang dibangun secara sistematis dan penuh kesadaran tersebut, baik di kalangan masyarakat, pemerintah, kekuatan sosial politik, termasuk partai-partai politik sangat mendukung berkembangnya komitmen, kesepahaman, persaudaraan, dan toleransi antarfraksi MPR. Suasana itu sangat memudahkan dan memperlancar tercapainya kesepakatan antarfraksi MPR dalam pembahasan materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kuatnya komitmen, kesepahaman, persaudaraan, dan toleransi antarfraksi MPR itu terlihat dari kebersamaan fraksi-fraksi MPR dalam pembahasan materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik dalam forum rapat-rapat Panitia Ad Hoc, rapat-rapat Badan Pekerja MPR maupun dalam sidang-sidang MPR. Pada forum rapat-rapat Panitia Ad Hoc dan Badan Pekerja MPR itu, perbedaan pendapat antarfraksi MPR diberi ruang. Hal itu terlihat dari adanya beberapa rumusan alternatif materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disampaikan ke tingkat pembicaraan berikutnya, yakni pada sidang-sidang MPR.
Begitu pula dalam sidang-sidang MPR, pengambilan putusan terhadap materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetap lebih mengedepankan kebersamaan. Hal itu terlihat dari pengambilan putusan terhadap materi rancangan perubahan dilakukan secara aklamasi. Terhadap materi rancangan perubahan yang belum disepakati oleh semua fraksi dalam sidang MPR, diputuskan untuk dibahas kembali pada forum rapat Panitia Ad Hoc I dan Badan Pekerja MPR untuk selanjutnya diajukan kembali pada sidang MPR berikutnya. Dari semua materi rancangan perubahan yang diajukan pada sidang MPR, hanya satu materi yang pengambilan putusannya dilakukan melalui mekanisme pemungutan suara (voting), yaitu materi tentang susunan keanggotaan MPR [Pasal 2 ayat (1)].
Badan Pekerja MPR yang merupakan alat kelengkapan MPR membentuk Panitia Ad Hoc III (pada masa sidang tahun 1999) dan Panitia Ad Hoc I (pada masa sidang tahun 1999-2000, tahun 2000-2001, tahun 2001-2002, dan tahun 2002-2003) untuk membahas rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Panitia Ad Hoc itu terdiri atas wakil-wakil fraksi MPR yang jumlahnya mencerminkan perimbangan jumlah kursi yang dimilikinya di MPR. Anggota Panitia Ad Hoc III maupun Panitia Ad Hoc I berjumlah 45 orang.
2. Partisipasi Publik
Partispasi publik dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, Badan Pekerja MPR menyadari pentingnya partisipasi publik dalam mewujudkan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingan bangsa dan negara. Untuk itu, Badan Pekerja MPR melalui alat kelengkapannya, yakni Panitia Ad Hoc I, menyusun secara sistematis program partisipasi publik, antara lain dengan melakukan penyerapan aspirasi masyarakat. Bentuk kegiatannya antara lain, berupa rapat dengar pendapat umum (RDPU), kunjungan kerja ke daerah, dan seminar. Oleh karena waktu yang tersedia sangat singkat, yakni hanya satu minggu, Panitia Ad Hoc III hanya melakukan RDPU dengan beberapa pakar hukum tata negara saja.
Dalam kegiatan-kegiatan tersebut, berbagai kalangan masyarakat dan instansi negara/pemerintah memberikan masukan, pendapat, dan ikut serta dalam diskusi yang intensif dengan Panitia Ad Hoc I. Kalangan masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan itu, antara lain, para pakar, pihak perguruan tinggi, asosiasi keilmuan, lembaga pengkajian, organisasi kemasyarakatan, dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Selain itu, Panitia Ad Hoc I juga menyelenggarakan diskusi terbatas untuk membahas beberapa topik yang berkaitan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam diskusi terbatas itu berbagai kelompok masyarakat menjadi peserta dan memberikan masukan serta tanggapan terhadap pemaparan para pakar yang dipandang ahli di bidangnya.
Panitia Ad Hoc I juga menyelenggarakan seminar di berbagai daerah dengan topik beberapa aspek kehidupan yang berkaitan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain menyangkut aspek politik, ekonomi, agama dan sosial budaya, serta hukum.
Selain melakukan berbagai kegiatan tersebut, Panitia Ad Hoc I melakukan studi banding ke luar negeri dan membentuk tim ahli yang terdiri atas sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu (antara lain politik, hukum, ekonomi). Beberapa negara yang dikunjungi Panitia Ad Hoc I untuk kegiatan studi banding, antara lain Jerman, Inggris, Amerika Serikat, Swedia, Denmark, Republik Rakyat Cina, Jepang, Rusia, dan Malaysia.
Panitia Ad Hoc I juga melakukan studi kepustakaan dengan mempelajari naskah konstitusi negara-negara lain. Untuk itu, tercatat lebih dari 30 naskah konstitusi yang dikaji secara mendalam dan kritis. Selain itu, Panitia Ad Hoc I juga menerima kunjungan komisi konstitusi dari tiga negara, yaitu Thailand, Korea Selatan, dan Jerman. Thailand dan Korea Selatan memiliki kesamaan dengan Indonesia yakni sama-sama melakukan perubahan undang-undang dasar negara setelah memasuki era baru pemerintahan yang lebih demokratis. Panitia Ad Hoc I dan komisi konstitusi dari ketiga negara berdiskusi secara mendalam mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan perubahan undang-undang dasar. Pengalaman negara lain dalam melakukan perubahan undang-undang dasarnya sangat penting bagi Panitia Ad Hoc I dalam mempersiapkan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Seiring dengan kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat oleh Panitia Ad Hoc I, fraksi-fraksi MPR dan partai politik yang mempunyai wakil di MPR juga secara bersamaan memberikan kesempatan kepada publik untuk berpartisipasi dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal itu dilakukan dengan cara menerima berbagai delegasi masyarakat ataupun perseorangan yang menyampaikan aspirasinya. Kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat dilakukan, baik di pusat maupun di daerah. Kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat mencapai ratusan kali diselenggarakan di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Fraksi-fraksi MPR dan partai-partai politik tetap melakukannya kegiatan itu bukan hanya selama masa sidang Panitia Ad Hoc I, tetapi juga dalam masa sidang-sidang MPR.
Masih berkaitan dengan penyerapan aspirasi masyarakat, partai politik, fraksi-fraksi MPR, dan Panitia Ad Hoc III yang dilanjutkan oleh Panitia Ad Hoc I, secara serius terus menerus mengikuti dan mencermati berbagai gagasan dan aspirasi masyarakat sehubungan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang muncul di ruang publik, terutama melalui media massa, baik cetak maupun elektronik.
Berkaitan dengan upaya sosialisasi pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta partisipasi publik yang lebih luas, Panitia Ad Hoc I yang didukung oleh Sekretariat Jenderal MPR menjalin kerja sama dengan stasiun TV pemerintah, yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan beberapa stasiun televisi swasta di tanah air. Kerja sama tersebut berwujud penayangan program siaran dengan materi perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik berupa siaran langsung maupun siaran tunda. Penayangan program siaran itu di berbagai stasiun TV sangat mendukung kegiatan Panitia Ad Hoc I di dalam menyebarluaskan pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke berbagai kalangan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat mengetahui dan memahami secara lebih lengkap dan sekaligus mendorong peningkatan partisipasi publik dalam memberikan masukan dan tanggapan kepada Panitia Ad Hoc I terhadap materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sedang dibahas.
3. Dinamika Pembahasan
Dinamika Pembahasan proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada era reformasi dimulai dengan pemandangan umum fraksi-fraksi MPR dalam rapat Badan Pekerja MPR masa sidang tahun 1999-2000. Dalam pemandangan umum itu, fraksi-fraksi MPR menyatakan sikapnya secara tegas untuk melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan mengajukan usul-usul materi perubahan, termasuk latar belakang, maksud dan tujuan serta implikasinya.
Selanjutnya pembahasan lebih rinci dilakukan di tingkat Panitia Ad Hoc III yang diawali dengan pengantar musyawarah fraksi-fraksi MPR. Setelah dilakukan pembahasan, hasil kerja Panitia Ad Hoc III dibahas dan diambil putusan pada rapat Badan Pekerja MPR masa sidang tahun 1999-2000, dilanjutkan dengan diajukan ke Sidang Umum MPR tahun 1999 untuk dibahas dan diambil putusan. Setelah melalui pembahasan yang mendalam, pada forum permusyawaratan tersebut, MPR mengesahkan Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mengingat waktu yang tersedia untuk melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sangat terbatas sehingga tidak memungkinkan MPR melakukan perubahan sesuai dengan dinamika dan aspirasi masyarakat, MPR pada Sidang Umum MPR tahun 1999 tersebut menerbitkan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja MPR RI untuk Mempersiapkan Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketetapan MPR itu tidak dipersiapkan oleh Panitia Ad Hoc III, tetapi dirumuskan dalam Sidang Umum MPR tahun 1999. Ketetapan MPR itu diterbitkan karena perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada sidang MPR saat itu dirasakan baru memenuhi sebagian tuntutan dan aspirasi masyarakat dan baru mencakup sebagian dari rancangan materi perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diusulkan fraksi-fraksi MPR. Ketetapan MPR itu menjadi dasar hukum bagi Badan Pekerja MPR untuk melanjutkan pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada Sidang Umum MPR tahun 1999, Komisi C Majelis menyepakati cara penulisan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan dalam bentuk adendum. Cara penulisan itu kemudian menjadi acuan dalam penulisan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya.
Sebagai pelaksanaan ketetapan MPR tersebut, maka pasca Sidang Umum MPR tahun 1999, pembahasan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilanjutkan oleh Badan Pekerja MPR masa sidang 1999-2000 melalui alat kelengkapannya, yaitu Panitia Ad Hoc I.
Panitia Ad Hoc I mempunyai waktu lebih panjang sehingga secara lebih intensif dapat melakukan pembahasan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hasil kerja Panitia Ad Hoc I itu kemudian diputuskan dalam sidang Badan Pekerja MPR masa sidang tahun 1999-2000 yakni berupa materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi perubahan itu selanjutnya dibahas dan diambil putusan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 dengan hasil berupa Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Karena tidak seluruh materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dipersiapkan Badan Pekerja MPR dapat diambil putusan pada forum permusyawaratan Majelis tersebut, MPR pada sidang itu juga menerbitkan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2000 tentang Penugasan Badan Pekerja MPR RI untuk Mempersiapkan Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketetapan MPR itu disertai lampiran yang menjadi bagian tak terpisahkan dari ketetapan MPR tersebut. Lampiran itu berupa Materi Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Badan Pekerja MPR RI Tahun 1999-2000.
Terbitnya ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2000 tersebut dimaksudkan untuk menjadi dasar hukum bagi pembahasan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya. Lampiran Ketetapan MPR tersebut menjadi acuan bagi Badan Pekerja MPR yang kemudian ditugaskan kepada Panitia Ad Hoc I, untuk melanjutkan pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam rapat-rapatnya selama masa sidang tahun 2000-2001 dan seterusnya sampai diputuskannya semua materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut oleh MPR, yang berpuncak pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002.
Pada tanggal 18 Agustus 2000, bersamaan dengan diputuskannya Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Rapat Paripurna Majelis pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000 menyepakati untuk membakukan penyebutan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Setelah melalui pembahasan yang mendalam, Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR masa sidang tahun 2000-2001 menyepakati beberapa materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dari Materi Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana terlampir dalam Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2000. Materi itu kemudian diajukan kepada rapat Badan Pekerja MPR masa sidang tahun 2000-2001 untuk dibahas dan diambil putusan. Selanjutnya, materi rancangan perubahan yang telah diputuskan oleh Badan Pekerja MPR itu diajukan untuk dibahas dan diambil putusan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2001. MPR dalam forum permusyawaratan tersebut, setelah melalui pembahasan yang panjang dan mendalam, mengesahkan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mengingat masih terdapat materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang belum diambil putusan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2001 sebagaimana terdapat dalam lampiran Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2000, MPR pada Sidang tahunan MPR tahun 2001 tersebut juga menerbitkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/2001 tentang Perubahan atas Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2000 tentang Penugasan Badan Pekerja MPR RI untuk Mempersiapkan Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/2001 juga dilengkapi lampiran yang merupakan bagian tak terpisahkan dari ketetapan MPR itu yaitu Materi Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketetapan MPR itu menjadi dasar hukum bagi Badan Pekerja MPR masa sidang 2001-2002 untuk melanjutkan pembahasan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Badan Pekerja MPR kemudian membentuk Panitia Ad Hoc I yang secara intensif membahas materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana terdapat dalam lampiran Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/ 2001.
Setelah melalui pembahasan yang mendalam, Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR masa sidang tahun 2001-2002 menyepakati materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang masih belum diambil putusan pada tiga sidang MPR sebelumnya. Materi ini kemudian diajukan kepada rapat Badan Pekerja MPR masa sidang tahun 2001-2002 untuk dibahas dan diambil putusan. Selanjutnya, materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diputuskan oleh Badan Pekerja MPR itu diajukan untuk dibahas dan diambil putusannya dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002. Dalam forum permusyawaratan tersebut, setelah melalui pembahasan yang mendalam, MPR mengesahkan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berkaitan dengan proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, fraksi-fraksi MPR dan partai politik juga secara intensif melakukan pertemuan internal untuk lebih meneguhkan konsolidasi di dalam dirinya sehubungan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian pula sering dilakukan pertemuan atau lobi antarfraksi MPR dan antarpartai politik. Pertemuan atau lobi tersebut sangat besar peranannya dalam mendekatkan sikap atau pendapat yang berbeda, meminimalikan, bahkan menghilangkan perbedaan sikap dan pendapat antarfraksi MPR atau antarpartai politik berkaitan dengan pembahasan materi perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain itu Komisi A Majelis yang bertugas membahas materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada beberapa sidang MPR juga membentuk tim perumus. Pembentukan tim itu dimaksudkan untuk mendalami lebih lanjut materi yang menjadi pembahasan serta sedapat mungkin merumuskan kesepakatan mengenai materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang masih memiliki perbedaan rumusan diantara fraksi MPR.
Dalam kaitan dengan upaya mendalami dan mencapai kesepakatan mengenai materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, jika dipandang perlu, tim perumus yang dibentuk Komisi A Majelis mengundang para pakar di bidangnya guna memperoleh masukan. Beberapa materi yang dibahas tim perumus dengan mengundang pakar, antara lain, mengenai wilayah negara dan hak asasi manusia.
Pertemuan atau lobi sangat sering berhasil memperlancar pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama dengan dicapainya kesepakatan antarfraksi MPR mengenai berbagai materi rancangan perubahan yang sebelumnya masih berbeda rumusannya (masih menggunakan rumusan alternatif) serta alot pembahasannya. Beberapa materi rancangan perubahan yang berhasil diselesaikan melalui pertemuan atau lobi, antara lain materi mengenai hak asasi manusia (HAM), wilayah negara, pemilihan presiden secara langsung, perekonomian nasional, dan perubahan Undang-Undang Dasar.
Dari proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, dapat diketahui bahwa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilakukan oleh MPR dalam satu kesatuan perubahan yang dilaksanakan dalam empat tahapan perubahan. Hal itu terjadi karena materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah disusun secara sistematis dan lengkap pada masa pembahasan di tingkat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR masa sidang tahun 1999-2000. Tidak seluruhnya dapat dibahas dan diambil putusan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000. Untuk itu pembahasan dan pengambilan putusan dilanjutkan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2001 dan baru dapat dituntaskan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002. Hal itu berarti bahwa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilaksanakan secara sistematis-berkelanjutan karena senantiasa mengacu dan berpedoman pada materi rancangan yang telah disepakati pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000.
4. Tingkat-tingkat Pembicaraan
Proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengikuti ketentuan Pasal 92 Peraturan Tata Tertib MPR mengenai tingkat-tingkat pembicaraan dalam membahas dan mengambil putusan terhadap materi sidang MPR. Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 92 Peraturan Tata Tertib adalah sebagai berikut.
- Tingkat I
Pembahasan oleh Badan Pekerja Majelis terhadap bahan-bahan yang masuk dan hasil dari pembahasan tersebut merupakan rancangan putusan Majelis sebagai bahan pokok Pembicaraan Tingkat II. - Tingkat II
Pembahasan dalam Rapat Paripurna Majelis yang didahului oleh penjelasan Pimpinan dan dilanjutkan dengan Pemandangan Umum Fraksi-fraksi. - Tingkat III
Pembahasan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis terhadap semua hasil pembicaraan Tingkat I dan II. Hasil pembahasan pada Tingkat III ini merupakan rancangan putusan Majelis. - Tingkat IV
Pengambilan putusan dalam Rapat Paripurna Majelis setelah mendengar laporan dari Pimpinan Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis dan bilamana perlu dengan kata akhir dari fraksi-fraksi.
Proses
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berkaitan
dengan tingkat-tingkat pembicaraan sesuai dengan ketentuan Pasal 92 Peraturan
Tata Tertib MPR dapat diuraikan sebagai berikut.
a.
Pembicaraan Tingkat I
Pada
Pembicaraan Tingkat I Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR pada masa Sidang
Tahunan MPR tahun 2000, tahun 2001, dan tahun 2002, kecuali Panitia Ad Hoc III
Badan Pekerja MPR pada masa Sidang Umum MPR tahun 1999 karena keterbatasan
waktu, sebagai salah satu alat kelengkapan Badan Pekerja MPR yang ditugasi
untuk mempersiapkan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Panitia itu memulai tugasnya dengan melakukan kegiatan
penyerapan aspirasi masyarakat dengan kegiatan sebagai berikut.
1)
Rapat Dengar Pendapat Umum
Panitia
Ad Hoc I Badan Pekerja MPR melakukan rapat dengar pendapat umum dengan berbagai
kalangan masyarakat (seperti para pakar, pihak perguruan tinggi, asosiasi
keilmuan, lembaga pengkajian, organisasi kemasyarakatan, dan LSM) dan berbagai
lembaga negara/pemerintah.
Dalam
kegiatan yang dilakukan berulang kali tersebut, berbagai kelompok memberikan
masukan dan tanggapan secara kritis dan objektif berkaitan dengan rancangan
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Masukan dan
tanggapan tersebut menjadi bahan bagi Panitia Ad Hoc I dalam melakukan
pembahasan terhadap rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2)
Kunjungan kerja ke daerah
Panitia
Ad Hoc I Badan Pekerja MPR melakukan kunjungan kerja ke daerah (baik ke tingkat
provinsi, maupun ke tingkat kabupaten dan kota) berulang kali untuk berdialog
dengan berbagai kalangan masyarakat (seperti perguruan tinggi, LSM, organisasi
kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat) dan berbagai lembaga negara/pemerintah.
Dalam
kegiatan itu berbagai kelompok yang ada di daerah memberikan masukan dan
tanggapan secara kritis dan objektif berkaitan dengan rancangan perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Masukan dan tanggapan
tersebut menjadi bahan bagi Panitia Ad Hoc I dalam melakukan pembahasan
terhadap rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
3)
Seminar
Panitia
Ad Hoc I Badan Pekerja MPR menyelenggarakan beberapa kali seminar dengan
berbagai topik perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang mengikutsertakan berbagai kalangan masyarakat (seperti para pakar,
perguruan tinggi, asosiasi keilmuan, lembaga pengkajian, LSM, organisasi
keagamaan) dan berbagai lembaga negara/pemerintah.
Dalam
kegiatan itu berbagai kalangan tersebut memberikan masukan dan tanggapan secara
kritis dan objektif berkaitan dengan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Masukan dan tanggapan tersebut menjadi
bahan bagi Panitia Ad Hoc I dalam melakukan pembahasan terhadap rancangan
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4)
Studi banding ke luar negeri
Panitia
Ad Hoc I Badan Pekerja MPR melakukan studi banding ke berbagai negara, baik
negara maju maupun negara berkembang, untuk melengkapi kegiatan penyerapan
aspirasi masyarakat. Studi banding itu dimaksudkan untuk mendalami konstitusi,
konsep, praktik, dan pengalaman penyelenggaraan negara, sistem pemerintahan,
sistem kepartaian, penataan hukum, mahkamah konstitusi, sistem pemilihan umum,
hubungan sipil-militer, implementasi dan promosi/pemajuan hak asasi manusia di
berbagai negara itu.
Dari
berbagai negara di berbagai belahan dunia (Asia, Eropa, Amerika, Afrika,
Australia) yang dikunjungi dengan beragam sistem ketatanegaraan, ideologi, dan
budaya, serta tingkat kemajuannya, Panitia Ad Hoc I dapat meningkatkan wawasan,
pengetahuan, dan pengalaman berharga yang sangat berguna dalam melakukan
pembahasan terhadap rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
5)
Pembentukan Tim Ahli Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR
Panitia
Ad Hoc I Badan Pekerja MPR membentuk Tim Ahli Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja
MPR yang terdiri atas sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu.
Tim
ahli yang menguasai berbagai disiplin ilmu, antara lain politik, hukum,
ekonomi, budaya, agama, sosiologi, dan pendidikan itu memberikan masukan secara
kritis dan objektif dengan mengutamakan nilai-nilai kebenaran serta
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Masukan dari Tim Ahli itu sangat
mendukung Panitia Ad Hoc I dalam melakukan pembahasan terhadap rancangan
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Setelah
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (pada masa Sidang Tahunan MPR tahun 2000,
tahun 2001, dan tahun 2002) melakukan berbagai kegiatan penyerapan aspirasi
masyarakat yang dilengkapi dengan studi banding ke luar negeri, Panitia Ad Hoc
I Badan Pekerja MPR dalam rapat-rapatnya mulai melakukan pembahasan untuk
menyusun materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Bahan
bahasan yang digunakan dan menjadi acuan Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPR
adalah tuntutan dan wacana perubahan dari berbagai kalangan yang muncul dan
berkembang selama awal era reformasi, termasuk pada masa kampanye Pemilu 1999.
Bahan bahasan tersebut tidak berasal dari kegiatan penyerapan aspirasi
masyarakat yang sangat luas dan studi banding ke luar negeri waktu yang
tersedia bagi Panitia Ad Hoc III hanya tinggal satu minggu.
Bahan
bahasan yang digunakan dan menjadi acuan pembahasan dalam rapat-rapat Panitia
Ad Hoc I Badan Pekerja MPR adalah
a) materi Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana dimuat dalam lampiran beberapa ketetapan MPR (khusus untuk pembahasan rancangan Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945);
b) materi usulan fraksi-fraksi MPR yang disampaikan dalam pengantar musyawarah pada rapat Badan Pekerja MPR;
c) materi usulan lembaga negara/pemerintah;
d) materi usulan berbagai kelompok masyarakat (pihak perguruan tinggi, ormas, pakar, LSM, lembaga pengkajian, dan lain-lain);
e) materi hasil kunjungan kerja ke daerah;
f) materi hasil seminar;
g) materi usulan dari perseorangan warga negara;
h) materi hasil studi banding ke negara-negara lain;
i) materi masukan dari Tim Ahli Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR.
a) materi Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana dimuat dalam lampiran beberapa ketetapan MPR (khusus untuk pembahasan rancangan Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945);
b) materi usulan fraksi-fraksi MPR yang disampaikan dalam pengantar musyawarah pada rapat Badan Pekerja MPR;
c) materi usulan lembaga negara/pemerintah;
d) materi usulan berbagai kelompok masyarakat (pihak perguruan tinggi, ormas, pakar, LSM, lembaga pengkajian, dan lain-lain);
e) materi hasil kunjungan kerja ke daerah;
f) materi hasil seminar;
g) materi usulan dari perseorangan warga negara;
h) materi hasil studi banding ke negara-negara lain;
i) materi masukan dari Tim Ahli Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR.
Dalam
melakukan pembahasan materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR menyepakati
mekanisme pembahasan sebagai berikut.
a) Seluruh materi termasuk materi usulan fraksi-fraksi MPR yang belum sempat dibahas pada sidang-sidang MPR dibahas pada rapat pleno Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR.
b) Setelah rapat pleno, dilakukan rapat perumusan (dilakukan oleh Tim Perumus yang dibentuk oleh Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR) untuk merumuskan materi yang telah dibahas pada rapat pleno Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, menginventarisasi pasal-pasal yang menjadi usulan fraksi atau yang telah dibahas dalam sidang-sidang MPR namun belum diputuskan serta melakukan inventarisasi permasalahan yang disampaikan oleh fraksi-fraksi MPR dalam pengantar musyawarah fraksi pada rapat Badan Pekerja MPR.
c) Hasil kesepakatan Tim Perumus, selanjutnya dibahas pada rapat pleno dengan tujuan untuk menyerasikan dan menyempurnakan materi-materi yang saling terkait antara satu bab dengan bab lainnya, satu pasal dengan pasal lainnya, dan antara ayat satu dengan ayat lainnya. Selain itu rapat sinkronisasi diselenggarakan untuk merangkum dan melihat kembali hal-hal yang menyangkut permasalahan dan perhatian tiap-tiap fraksi sebagaimana disampaikan dalam pengantar musyawarah fraksi pada rapat Badan Pekerja MPR.
d) Materi yang telah disinkronkan, selanjutnya dibahas dalam rapat finalisasi dengan tujuan untuk merumuskan dan mensistematiskan materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
e) Materi yang dihasilkan dari rapat finalisasi, selanjutnya disosialisasikan sekaligus dilakukan uji sahih kepada berbagai kalangan masyarakat dan lembaga negara/pemerintah. Tujuannya ialah untuk menyerap berbagai pandangan, pendapat, dan tanggapan dari berbagai kalangan masyarakat dan lembaga negara/pemerintah terhadap hasil rumusan rapat finalisasi.
f) Pembahasan berbagai pandangan, pendapat, dan tanggapan dari berbagai kalangan masyarakat dan lembaga negara/ pemerintah dilakukan oleh Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR dengan menyelenggarakan kegiatan review yang didahului dengan kegiatan pre-review.
g) Hasil kerja Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR selanjutnya disahkan oleh rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR dan rapat Badan Pekerja MPR. Hasil kerja yang disepakati itu kemudian menjadi bahan pokok Pembicaraan Tingkat II.
a) Seluruh materi termasuk materi usulan fraksi-fraksi MPR yang belum sempat dibahas pada sidang-sidang MPR dibahas pada rapat pleno Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR.
b) Setelah rapat pleno, dilakukan rapat perumusan (dilakukan oleh Tim Perumus yang dibentuk oleh Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR) untuk merumuskan materi yang telah dibahas pada rapat pleno Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, menginventarisasi pasal-pasal yang menjadi usulan fraksi atau yang telah dibahas dalam sidang-sidang MPR namun belum diputuskan serta melakukan inventarisasi permasalahan yang disampaikan oleh fraksi-fraksi MPR dalam pengantar musyawarah fraksi pada rapat Badan Pekerja MPR.
c) Hasil kesepakatan Tim Perumus, selanjutnya dibahas pada rapat pleno dengan tujuan untuk menyerasikan dan menyempurnakan materi-materi yang saling terkait antara satu bab dengan bab lainnya, satu pasal dengan pasal lainnya, dan antara ayat satu dengan ayat lainnya. Selain itu rapat sinkronisasi diselenggarakan untuk merangkum dan melihat kembali hal-hal yang menyangkut permasalahan dan perhatian tiap-tiap fraksi sebagaimana disampaikan dalam pengantar musyawarah fraksi pada rapat Badan Pekerja MPR.
d) Materi yang telah disinkronkan, selanjutnya dibahas dalam rapat finalisasi dengan tujuan untuk merumuskan dan mensistematiskan materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
e) Materi yang dihasilkan dari rapat finalisasi, selanjutnya disosialisasikan sekaligus dilakukan uji sahih kepada berbagai kalangan masyarakat dan lembaga negara/pemerintah. Tujuannya ialah untuk menyerap berbagai pandangan, pendapat, dan tanggapan dari berbagai kalangan masyarakat dan lembaga negara/pemerintah terhadap hasil rumusan rapat finalisasi.
f) Pembahasan berbagai pandangan, pendapat, dan tanggapan dari berbagai kalangan masyarakat dan lembaga negara/ pemerintah dilakukan oleh Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR dengan menyelenggarakan kegiatan review yang didahului dengan kegiatan pre-review.
g) Hasil kerja Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR selanjutnya disahkan oleh rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR dan rapat Badan Pekerja MPR. Hasil kerja yang disepakati itu kemudian menjadi bahan pokok Pembicaraan Tingkat II.
Dalam
rangka pendalaman terhadap materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR
mengundang beberapa narasumber yang dipandang berkompeten di bidang materi
rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain
itu untuk memperlancar proses pembahasan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR
menyelenggarakan lobi antarpimpinan fraksi MPR. Forum itu digelar untuk
membahas hal-hal yang berkaitan dengan materi rancangan perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mengupayakan tercapainya titik
temu mengenai materi yang menjadi perhatian fraksi-fraksi MPR sebagaimana
disampaikan dalam pengantar musyawarah fraksi pada rapat Badan Pekerja MPR.
Agar
bahasa yang digunakan di dalam materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dan
bahasa hukum, Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR meminta pendapat ahli bahasa,
ahli hukum tata negara, dan ahli penulisan undang-undang (legal drafter).
Satu
hal yang sangat penting dikemukakan dalam pembicaraan tingkat I adalah
bahwa berdasarkan ketentuan Peraturan Tata Tertib MPR, selama pembicaraan
tingkat I oleh Panitia Ad Hoc I tidak dilakukan pemungutan suara (voting).
Semua materi dibahas secara bersama dan senantiasa diupayakan tercapainya
kesepakatan terhadap satu materi sehingga hanya terdapat satu rumusan materi.
Apabila sampai kesempatan terakhir tidak juga dicapai kesepakatan adanya satu
rumusan materi, rumusan dapat terdiri atas dua alternatif atau lebih.
Tidak
adanya pemungutan suara (voting) memperkuat tekad dan semangat dari
Panitia Ad Hoc I untuk terus mencari kesamaan pendapat sampai batas akhir
pembahasan sekaligus meneguhkan kebersamaan dan toleransi seluruh pimpinan dan
anggota Panitia Ad Hoc I.
Agar
pembahasan dan pengambilan putusan terhadap rancangan perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil kerja Panitia Ad Hoc I
berjalan lancar di tingkat pembicaraan selanjutnya (pembicaraan tingkat II,
III, dan IV) sehingga lebih mudah disahkan menjadi perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Panitia Ad Hoc I menyusun daftar
prioritas materi rancangan perubahan berdasarkan tingkat sensitivitasnya.
Terhadap materi yang tidak sensitif karena tidak adanya perbedaan. Diantara
fraksi MPR, materi itu menjadi prioritas untuk dimasukkan sebagai bagian dari
hasil kerja Panitia Ad Hoc I, contohnya materi tentang pembatasan masa jabatan
presiden, pemilihan umum, Badan Pemeriksa Keuangan, dan atribut negara.
Terhadap materi yang memiliki sensitivitas tinggi karena masih adanya perbedaan
yang besar di antara fraksi MPR, materi itu tidak dipaksakan untuk menjadi
hasil kerja Panitia Ad Hoc I yang diajukan ke tingkat pembicaraan selanjutnya,
contohnya materi tentang susunan dan keanggotaan MPR, wewenang MPR, pemilihan
presiden secara langsung, kedudukan agama dalam negara (Pasal 29), dan wilayah
negara.
Seiring
dengan berjalannya waktu serta pendekatan dan komunikasi yang makin efektif
antarfraksi MPR di Panitia Ad Hoc I, diharapkan materi yang memiliki tingkat
sensitivitas tinggi tersebut secara bertahap dapat diturunkan sensitivitasnya
serta dapat diupayakan adanya kesamaan pendapat diantara semua fraksi MPR di
Panitia Ad Hoc I.
Selain
itu, Panitia Ad Hoc I juga membagi materi rancangan perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi dua bagian: yaitu materi
yang berdiri sendiri dan materi yang berkaitan dengan materi lain. Terhadap
materi yang berdiri sendiri, Panitia Ad Hoc I memprioritaskan untuk menjadi
hasil kerjanya serta diajukan ke tingkat pembicaraan selanjutnya karena dipandang
lebih mudah untuk dibahas dan disahkan. Contohnya adalah materi tentang
Pemilihan Umum dan Wilayah Negara. Adapun materi yang berkaitan dengan materi
lain mendapat waktu pembahasan lebih lama (panjang) agar sedapat mungkin dapat
dicapai kesepakatan terhadap seluruh materi yang berkaitan itu sebelum diajukan
ke tingkat pembicaraan selanjutnya. Contohnya adalah materi tentang susunan dan
keanggotaan MPR, wewenang MPR, dan pemilihan presiden secara langsung.
Dari
mekanisme pembicaraan pada tingkat I yang dilakukan oleh Panitia Ad Hoc I dapat
ditemukan secara jelas bahwa proses pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sarat dengan nilai kualitatif, yakni
muncul dengan leluasa dan tolak angsur gagasan dan pemikiran muncul secara
dialogis, bebas, dan kritis sekaligus konstruktif, serta kajian keilmuan dan
studi literatur dilakukan secara intensif.
b.
Pembicaraan Tingkat II
Pada
Pembicaraan Tingkat II dilakukan pembahasan materi rancangan perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan dalam
rapat paripurna MPR pada sidang MPR yang didahului oleh penjelasan Pimpinan MPR
dan dilanjutkan dengan pemandangan umum fraksi-fraksi MPR.
c.
Pembicaraan Tingkat III
Penjelasan Pimpinan MPR dan pemandangan umum fraksi-fraksi MPR mengenai materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilanjutkan dengan pembahasan oleh Komisi Majelis terhadap semua hasil pembicaraan tingkat I dan tingkat II.
Penjelasan Pimpinan MPR dan pemandangan umum fraksi-fraksi MPR mengenai materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilanjutkan dengan pembahasan oleh Komisi Majelis terhadap semua hasil pembicaraan tingkat I dan tingkat II.
Komisi
A MPR (Komisi C MPR pada Sidang Umum MPR tahun 1999) sebagai komisi pada
sidang-sidang MPR yang mendapat tugas untuk membahas perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menggunakan rancangan perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil kerja Badan
Pekerja MPR dan materi pengantar musyawarah fraksi-fraksi MPR yang disampaikan
pada rapat pertama Komisi A MPR. Selama pembahasan di Komisi A MPR, terbuka
kemungkinan menerima masukan, tanggapan, dan pendapat dari anggota komisi.
Mekanisme pembahasan di Komisi A MPR berlangsung sebagai berikut.
1) Forum Rapat Pleno Komisi A MPR Tiap-tiap fraksi MPR menyampaikan pengantar musyawarah fraksi dan tiap-tiap anggota MPR diberi kesempatan untuk membahas materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Forum Lobi Forum lobi adalah forum yang dibentuk oleh Komisi A untuk membicarakan substansi materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berkembang dalam forum rapat pleno. Keanggotaan forum lobi terdiri atas Pimpinan Komisi A dan wakil dari setiap fraksi.
3) Forum Rapat Tim Perumus Forum rapat tim perumus adalah forum yang dibentuk oleh Komisi A MPR untuk membahas dan merumuskan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4) Untuk penyempurnaan redaksional rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Komisi A meminta pendapat ahli bahasa, ahli hukum tata negara, dan ahli penulisan undang-undang.
Mekanisme pembahasan di Komisi A MPR berlangsung sebagai berikut.
1) Forum Rapat Pleno Komisi A MPR Tiap-tiap fraksi MPR menyampaikan pengantar musyawarah fraksi dan tiap-tiap anggota MPR diberi kesempatan untuk membahas materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Forum Lobi Forum lobi adalah forum yang dibentuk oleh Komisi A untuk membicarakan substansi materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berkembang dalam forum rapat pleno. Keanggotaan forum lobi terdiri atas Pimpinan Komisi A dan wakil dari setiap fraksi.
3) Forum Rapat Tim Perumus Forum rapat tim perumus adalah forum yang dibentuk oleh Komisi A MPR untuk membahas dan merumuskan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4) Untuk penyempurnaan redaksional rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Komisi A meminta pendapat ahli bahasa, ahli hukum tata negara, dan ahli penulisan undang-undang.
d.
Pembicaraan Tingkat IV
Hasil
kerja Komisi A MPR kemudian diputuskan/ditetapkan dalam rapat paripurna MPR
setelah mendengar laporan dari Pimpinan Komisi dan bilamana perlu dengan kata
akhir dari fraksi-fraksi MPR.
Terhadap materi hasil pembicaraan tingkat III yang disepakati, putusan diambil dengan cara aklamasi, sedangkan terhadap materi hasil pembicaraan tingkat III yang tidak disepakati, putusan diambil dengan cara pemungutan suara (voting).
Putusan terhadap rancangan materi perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilakukan dengan cara pemungutan suara karena sampai saat terakhir menjelang pengambilan putusan tidak dicapai kesepakatan fraksi-fraksi MPR sehingga masih terdapat lebih dari satu rumusan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemungutan suara dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum diubah), yaitu:
(1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir.
(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir.
Terhadap materi hasil pembicaraan tingkat III yang disepakati, putusan diambil dengan cara aklamasi, sedangkan terhadap materi hasil pembicaraan tingkat III yang tidak disepakati, putusan diambil dengan cara pemungutan suara (voting).
Putusan terhadap rancangan materi perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilakukan dengan cara pemungutan suara karena sampai saat terakhir menjelang pengambilan putusan tidak dicapai kesepakatan fraksi-fraksi MPR sehingga masih terdapat lebih dari satu rumusan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemungutan suara dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum diubah), yaitu:
(1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir.
(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir.
Dalam
proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
dibahas dalam empat kali sidang MPR sejak tahun 1999 sampai dengan 2002, hampir
seluruh materi rancangan perubahan disetujui dengan cara aklamasi setelah
sebelumnya dilakukan pembahasan sangat mendalam, kritis, dan objektif. Hal ini
menunjukkan keberhasilan dari seluruh anggota MPR dan fraksi-fraksi MPR serta
dalam arti luas seluruh bangsa Indonesia karena telah berhasil menyamakan
persepsi dan materi perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Dari
puluhan materi yang dibahas dan diputuskan dalam empat sidang MPR, hanya satu
materi saja yang diputuskan dengan cara pemungutan suara yaitu Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai susunan
keanggotaan MPR, yang terdiri atas dua alternatif sebagai berikut.
Alternatif
1
Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum, ditambah dengan
utusan golongan yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, yang selanjutnya
diatur oleh undang-undang.
Alternatif
2
Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih
lanjut dengan undang-undang.
Pada
pemungutan suara tersebut, mayoritas anggota MPR memilih alternatif 2, yaitu
sebanyak 475 anggota MPR, sedangkan alternatif 1 dipilih 122 anggota MPR, dan 3
anggota MPR memilih abstain.
Dari
proses pengambilan putusan yang mengutamakan cara aklamasi dibanding pemungutan
suara tersebut, dapat disimpulkan bahwa kuatnya semangat dan ikatan
kebersamaan, kekeluargaan, persahabatan, persaudaraan, serta toleransi dan jiwa
besar antaranggota MPR.
Semangat
dan ikatan luhur itu melampaui keragaman paham dan sikap antarfraksi MPR
sebelumnya, pada awal-awal pembahasan. Semangat kenegarawanan antaranggota MPR
itu menunjukkan besarnya hasrat dan cita-cita membangun keindonesiaan yang
dilandaskan pada keragaman (bhinneka) tetapi pada satu titik mencapai
kesatuan pendapat (tunggal ika). Hal itu juga menunjukkan bahwa
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
kebutuhan MPR untuk menyempurnakan aturan dasar dalam mewujudkan kehidupan
bangsa dan negara yang lebih baik pada masa yang akan datang.
5.
Jenis Perubahan UUD 1945
Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilakukan untuk
menyempurnakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bukan
untuk mengganti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh
karena itu jenis perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang dilakukan oleh MPR adalah mengubah, membuat rumusan baru sama sekali,
menghapus atau menghilangkan, memindahkan tempat pasal atau ayat sekaligus
mengubah penomoran pasal atau ayat. Untuk itu dapat dikemukakan contoh sebagai
berikut.
a.
Mengubah rumusan yang telah ada.
Sebagai
contoh rumusan Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang semula berbunyi:
Pasal
2
(1)
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan,
menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Setelah
diubah menjadi:
Pasal
2
(1)
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur
lebih lanjut dengan undang-undang.
b.
Membuat rumusan baru sama sekali.
Contohnya
adalah rumusan ketentuan Pasal 6A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945:
Pasal
6A
(1)
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat.
c.
Menghapuskan/menghilangkan rumusan yang ada.
Sebagai
contoh, ketentuan Bab IV Dewan Pertimbangan Agung.
BAB
IV DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG
Pasal
16
(1)
Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan undang-undang.
(2)
Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak
memajukan usul kepada pemerintah.
Setelah
diubah menjadi:
BAB
IV DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG
Dihapus.
d.
Memindahkan rumusan pasal ke dalam rumusan ayat atau sebaliknya memindahkan
rumusan ayat ke dalam rumusan pasal sekaligus mengubah penomoran pasal atau
ayat. Contoh pemindahan rumusan pasal ke dalam rumusan ayat sekaligus mengubah
penomoran pasal atau ayat adalah ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal
34
Fakir
miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Setelah
diubah menjadi:
Pasal
34
(1)
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Contoh
pemindahan rumusan ayat ke dalam rumusan pasal sekaligus mengubah penomoran
pasal atau ayat yakni ketentuan Bab VIII Hal Keuangan Pasal 23 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal
23
(2)
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
Setelah
diubah menjadi:
Pasal
23B
Macam
dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
6.
Ketentuan Umum
Dalam
proses dan hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 terdapat beberapa hal yang perlu dijelaskan agar diperoleh kesamaan dan
keseragaman pendapat dalam memahami Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, termasuk menjadi acuan bagi para narasumber dalam
melakukan kegiatan sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Beberapa ketentuan tersebut, antara lain, sebagai berikut.
a.
Secara resmi kata yang dipakai dalam perubahan Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kata perubahan. Istilah amendemen
yang berasal dari bahasa Inggris tidak digunakan sebagai istilah resmi. Istilah
amandemen banyak dipakai oleh kalangan akademis dan LSM serta orang
asing.
b.
Penyebutan Undang-Undang Dasar 1945 secara resmi adalah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyebutan resmi ini diputuskan dalam
Sidang Paripurna Majelis pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000.
c.
Dalam melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, MPR menyepakati cara penulisan cara adendum yakni naskah asli
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetap dibiarkan utuh
sementara naskah perubahan diletakkan setelah naskah asli. Dengan demikian naskah
resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
naskah yang terdiri atas lima bagian:
1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3) Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
5) Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3) Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
5) Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
d.
Agar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat lebih mudah
dipahami oleh berbagai kalangan, disusun risalah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Satu Naskah yang berisikan pasal-pasal dari
Naskah Asli yang tidak berubah dan pasal-pasal dari empat naskah hasil
perubahan. Namun Undang-Undang Dasar dalam Satu Naskah itu bukan merupakan
naskah resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
e.
Penyebutan nama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
termasuk juga perubahannya. Oleh karena itu, tidak perlu disebutkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan perubahannya atau
UUD 1945 dan perubahannya.
f.
Kata “Pembukaan” merupakan penyebutan resmi untuk menunjuk Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Istilah lain yang
dapat dipakai adalah Preambule sebagaimana tercantum dalam naskah asli
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun Mukaddimah
merupakan istilah yang digunakan dalam Piagam Jakarta.
g.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas dua
bagian, yaitu Pembukaan dan pasal-pasal. Istilah “Batang Tubuh” yang selama ini
digunakan sebagaimana tercantum dalam Pasal II Aturan Tambahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak lagi dipakai karena sudah
digantikan dengan kata pasal-pasal.
h.
Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak
berlaku lagi sesuai dengan ketentuan Pasal II Aturan Tambahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Walaupun demikian sebagai dokumen
historis Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tetap tercantum dalam naskah asli Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 karena dalam melakukan perubahan konstitusi, MPR menganut cara adendum.
i.
Rumusan diatur dengan undang-undang yang terdapat dalam pasal
atau ayat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diberi makna
hal yang diatur dalam ketentuan itu harus dirumuskan dalam sebuah undang-undang
yang khusus diterbitkan untuk kepentingan itu. Adapun diatur dalam
undang-undang yang terdapat dalam pasal atau ayat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diberi makna hal yang diatur dalam
ketentuan itu dapat menjadi materi suatu atau beberapa undang-undang yang tidak
khusus diterbitkan untuk kepentingan itu.
Copyright
© Sekretariat Jenderal MPR RI
Alasan UUD 1945 Diamandemen
1. Karena UUD 1945 merupakan hukum
dasar tertulis yang dijadikan landasan dalam penyelenggaraan Negara maka harus
sesuai dengan aspirasi tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia. Mengingat
kehidupan masyarakat Indonesia yang selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan
peradaban manusia pada umumnya maka UUD 1945 diamandemen oleh MPR. Perubahan
UUD 1945 memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia.
2. Karena menghilangkan pandangan adanya keyakinan bahwa UUD 1945 merupakan hal yang sacral, tidak bisa diubah, diganti, dikaji mendalam tentang kebenaran seperti doktrin yang diterapkan pada masa orde baru.
3. Karena perubahan UUD 1945 memberikan peluang kepada bangsa Indonesia untuk membangun dirinya atau melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat.
4. Karena perubahan UUD 1945 mendidik jiwa demoktrasi yang sudah dipelopori oleh MPR pada waktu mengadakan perubahan UUD itu sendiri, sehingga lembaga Negara, badan badan lainnya serta dalam kehidupan masyarakat berkembang jiwa demokrasi.
5. Karena perubahan UUD 1945 menghilangkan kesan jiwa UUD 1945 yang sentralistik dan otoriter sebab dengan adanya amandemen UUD 1945 masa jabatan presiden dibatasi, kekuasaan presiden dibatasi, system pemerintahan dIsentralisasi dan otonomi.
6. Karena perubahan UUD 1945 menghidupkan perkembangan politik ke arah keterbukaan.
7. Karena perubahan UUD 1945 mendorong para cendekiawan dan berbagai tokoh masyarakat untuk lebih proaktif dan kreatif mengkritisi pemerintah (demi kebaikan) sehingga mendorong kehidupan bangsa yang dinamis (berkembang) dalam segala bidang, baik politik, ekonomi, social budaya sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang maju dan sejahtera sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju.
2. Karena menghilangkan pandangan adanya keyakinan bahwa UUD 1945 merupakan hal yang sacral, tidak bisa diubah, diganti, dikaji mendalam tentang kebenaran seperti doktrin yang diterapkan pada masa orde baru.
3. Karena perubahan UUD 1945 memberikan peluang kepada bangsa Indonesia untuk membangun dirinya atau melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat.
4. Karena perubahan UUD 1945 mendidik jiwa demoktrasi yang sudah dipelopori oleh MPR pada waktu mengadakan perubahan UUD itu sendiri, sehingga lembaga Negara, badan badan lainnya serta dalam kehidupan masyarakat berkembang jiwa demokrasi.
5. Karena perubahan UUD 1945 menghilangkan kesan jiwa UUD 1945 yang sentralistik dan otoriter sebab dengan adanya amandemen UUD 1945 masa jabatan presiden dibatasi, kekuasaan presiden dibatasi, system pemerintahan dIsentralisasi dan otonomi.
6. Karena perubahan UUD 1945 menghidupkan perkembangan politik ke arah keterbukaan.
7. Karena perubahan UUD 1945 mendorong para cendekiawan dan berbagai tokoh masyarakat untuk lebih proaktif dan kreatif mengkritisi pemerintah (demi kebaikan) sehingga mendorong kehidupan bangsa yang dinamis (berkembang) dalam segala bidang, baik politik, ekonomi, social budaya sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang maju dan sejahtera sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju.
2. Latar belakang Perubahan UUD
1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Perubahan UUD bukan suatu yang ditabukan, tapi merupakan tuntutan sejarah. Perubahan UUD sudah bisa diprediksi oleh Ir. Soekarno. Pada saat pembahasan penetapan UUD sudah dikemukakan bahwa UUD kita memang sudah simple namun jika suatu saat terjadi perkembangan zaman boleh diubah agar bisa menyesuaikan atau beradaptasi. Jadi ini juga merupakan amanat dari Ir. Soekarno.
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Perubahan UUD bukan suatu yang ditabukan, tapi merupakan tuntutan sejarah. Perubahan UUD sudah bisa diprediksi oleh Ir. Soekarno. Pada saat pembahasan penetapan UUD sudah dikemukakan bahwa UUD kita memang sudah simple namun jika suatu saat terjadi perkembangan zaman boleh diubah agar bisa menyesuaikan atau beradaptasi. Jadi ini juga merupakan amanat dari Ir. Soekarno.
Dahulu Indonesia pernah memiliki
UUD yang isinya sangat berbeda dengan UUD Negara RI tahun1945, yaitu UUD RIS
dan UUDS. Yang berbeda adalah pada UUD RIS sistem pemerintahannya adalah
Serikat, pada UUDS sistem pemerintahannya adalah Federal, sedangkan pada UUD
Negara RI th 1945 sistem pemerintahannya adalah Kesatuan.
Pada Orde Baru dituntut tidak
adanya perubahan UUD 1945. Hal ini diperkuat dengan adanya Tap MPR No.
IV/MPR/1993 yang menjelaskan ketidakmungkinan terjadi perubahan. Kalaupun
terjadi perubahan harus diadakan referendum atau persetujuan dari masyarakat.
Namun hal ini berbeda sekali dengan Pasal 37 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa
perubahan boleh dilakukan tanpa adanya referendum. Sehingga Tap MPR No.
IV/MPR/1993 dicabut.
Tuntutan Reformasi:
Istilah yang baku ‘amandemen’ oleh MPR diganti dengan ‘perubahan’.
Dihapusnya dwi fungsi ABRI
Pemberantasan KKN dan penegakan hukum.
Penguatan otonomi daerah agar tidak sentral di Ibukota Jakarta.
Kebebasan pers supaya aspirasi rakyat bisa tersalurkan dengan baik.
Demokratisasi terkait HAM.
Istilah yang baku ‘amandemen’ oleh MPR diganti dengan ‘perubahan’.
Dihapusnya dwi fungsi ABRI
Pemberantasan KKN dan penegakan hukum.
Penguatan otonomi daerah agar tidak sentral di Ibukota Jakarta.
Kebebasan pers supaya aspirasi rakyat bisa tersalurkan dengan baik.
Demokratisasi terkait HAM.